Siang itu amat terik. Elis mengambil kunci dari tas sekolahnya. Lalu membuka pintu kamar kontrakan. Kamar, bukan rumah! Orang tua Elis hanya sanggup menyewa satu kamar berukuran 3X3 untuk tempat tinggal mereka.
Di dalam tampak sebuah kasur berlapis seperai batik. Lalu ada sebuah keranjang untuk tempat pakaian, sebuah kompor minyak tanah, sebuah panic, sebuah kuali dan sodetnya, beberapa piring, sendok, gelas, dan sebuah ember. Itulah perabotan keluarga Elis. Oh ya, ada tempat nasi dan sebuah rantang susun, karena ibu telah menyediakan makanan untuk Elis.
Elis masuk dan meletakan tasnya di lantai. Duduk di tepi kasur, dan membuka rantang susun. Ada sayur asam, tahu, tempe, ikan jambal asin dan sambel.
Hati Elis tiba-tiba kembali gundah. Terngiang percakapannya tadi dengan kawan-kawan kelompok belajarnya: Rina, Yeti, dan Dona.
“Sudah tiga kali kita belajar bersama. Sabtu besok giliran di rumah kamu ya Elis. Yang lain sudah dapat giliran.!” Kata Rina.
“Maaf, rumahku amat sempit. Kalau bisa, di tempat lain saja!” Elis tidak bisa membayangkan kalau mereka sampai datang ke rumahnya yang sangat sempit.
“Tidak apa-apa. Rumahku juga kecil kok.” Kata Dona
“Sudahlah pokoknya nanti hari Sabtu kita belajar di rumah Elis. Masa sih kita tak boleh ke rumahmu?” Rina, sang ketua kelompok memutuskan.
“Elis merendah saja. Pasti rumahnya bagus. Lihat saja seragamnya bagus, sepatunya bermerek dan tas sekolahnya mahal!” kata Yeti.
“Kalian salah. Ibuku Cuma pembantu rumah tangga. Uang yang kupakai ini adalah hadiah dari majikan ibu. Anak Pak Budiman, Siska. Sebaya denganku. Jadi kalau Siska dibelikan sesuatu, aku suka diberi juga.” Elis menjelaskan. Tapi penjelasannya tidak mengubah tekat kawan-kawannya.
Sekarang, Elis termenung sendiri di kamar kontrakannya. Ibu belum pulang. Ibu jadi pembantu di rumah keluarga Budiman, rumah besar tak jauh dari deretan kamar kontrakannya. Bapak juga bekerja di sana jadi satpam. Jadi kalau malam Bapak tidur di pos jaga rumah bos, Ibu serta elis tidur di kamar kontrakan mereka.
Sore hari ibu pulang. Elis langsung menceritakan masalahnya.
“Biar nanti ibu kosongkan kamar ini dan gelar tikar. Barang-barang kita titipkan di rumah Pak Min!” kata ibu. Pak Min adalah pemilik kamar kontrakan.
“Terima kasih bu. Untung ibu banyak akal. Kita suguhkan kue dan minuman ya bu. Di rumah lain juga begitu.” Kata Elis.
“Sekolahmu kan tidak begitu jauh. Lebih baik kalian datang langsung dari sekolah saja. Nanti ibu sediakan makan siang.” Kata Ibu.
“Aaah, ibu biayanya kan besar. Lagi pula piring dan gelas kita mana cukup.” Kata Elis.
“Uang ibu cukup kok. Masalah piring soal mudah. Ibu bisa pinjam sama tetanggaa. Kita disini sudah biasa kan tolong-menolong.” Kata ibu.
Akhirnya tiba juga hari Sabtu. Berkali-kali Elis menjelaskan bahwa mereka akan belajar lesehan di lantai dan makan-makan sederhana. Juga kalau mau pipis harus ke WC umum. Namun ketiga temannya tetap saja bersemangat datang.
Setiba di kamar kontrakan, ternyata ada ibu.
“Mari masuk, anak-anak. Terima kasih mau datang ke kamar kontrakan kami yang sempit.!” Sambut ibu.
Elis terbelalak ketika melihat ruangan sudah kosong dan bersih. Diaatas tikar sudah tersedia nasi, sayur lodeh, ikan goreng, dan tempe bacem. Juga es buah. Piring dan gelasnya juga bagus-bagus. Bahkan tersedia mangkuk kobokan yang diberi jeruk limau dan serbet makan.
“Wah lezat benar. Memangnya Elis ulang tahun ya bu?” Tanya Yeti.
“Oh tidak, Cuma ini kok yang bisa ibu sediakan. Ayo cicipi.” Kata ibu riang. Anak-anak itu makan dengan lahap.
“Kamu benar-benar tinggal disini?” Tanya Rina mengaskan. Elis mengangguk.
“Aduh maafkan kami ya.”
“Ah tidak apa-apa. Kami senang kalian mau datang.”
“Kalau sduah makan kita pindah ya ke tempat majikan ibu. Keluarga Budiman sedang pergi ke puncak. Ibu sudah minta ijin dan kalian boleh belajar disana. Lebih nyaman karena ada meja dan bangku.” Kata ibu.
Setelah makan mereka pergi ke rumah majikan ibu. Halamanya luas, rumahnya juga besar. Anak-anak duduk di ruangan mewah dengan meja dan bangku yang indah. Ada pot porselen berisi tanaman hias di sudut-sudut ruangan. Sebuah piano dan akuarium ikan warna juga menghias ruangan.
“Majikan ibu kaya dan apik sekali.” Kata Rina.
“Iya kami bersyukur sekali. Tuhan sangat baik. Walaupun tinggal di kamar sempit. Tapi kami tak pernah kekurangan. Kadang-kadang aku belajar disini. Kalau Siska kesulitan membuat PR Matematika. Aku dipanggil untuk mengajarkannya.” Kata Elis.
“Wah ada guru kecil nih.” Goda Yeti. Anak-anak pun tertawa.
“Tapi, lain kali kita tidak bisa belajar disini. Ini kebetulan saja kalau kalian mau datang ibu harus menitipkan barang dulu.”
“Aku mengerti. Biar rumah kami bertiga yang mendapat giliran.” Kata Rina.
“Omong-omng kalu dilihat dari penampilan kamu pantas lho tinggal di rumah besar dan mewah ini.” Kata Dona
“Kamu tampak rapi, berih dan sehat.”
“Ibu bilang walaupun tinggal di tempat kumuh, kita harus bisa hidup bersih.” Kata Elis.
“Sudah-sudah, ayo belajar. Ngobrol saja kapan mulai belajarnya.” Tegur Rina, sang ketua kelompok.
Anak-anak mulai sibuk belajar. Elis merasa lega karena satu masalah diselesaikan dengan baik. Sekarang pastilah ibu sibuk mengangkut kasur dan barang-barang. Juga mengembalikan piring, sendok , dan gelas pinjamannya. Elis merasa makin saya pada ibu. Ibu memang hebat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar