Nenek Sali
Siang hari itu langit terlihat mendung; Aku melangkah ringan sembari melihat pemandangan suasana pedesaan. Di kanan kiri jalan Nampak sawah-sawah dengan padi yang mulai menguning. Sedangkan di kaki langit terlihat pegunungan biru yang diselimuti arak-arakan sawah. Ini hari kedua aku berlibur di rumah kakek dan nenek. Kali ini aku terpaksa sendirian. Kak Ria, kakakku tidak bisa ikut karena harus mengikuti les persiapan UN.
Namun, beberapa saat kemudian gerimis mulai turun. Aku segera berlari pulang menuju ke rumah kakek. Namun di tengah jalan hujan turun dengan lebat. Aku terpaksa berteduh dibawah pohon besar.
Aku melihat seorang nenek duduk di teras rumah tersebut. Ia memandang ke arahku dan tersenyum. Aku pun membalas senyumnya. Lalu ia melambaikan tangan memanggilku. Wah, kebetulan. Aku segera berlari menuju rumah itu.
“Kok hujan-hujan? Kamu pasti bukan anak desa sini ya? Siapa namamu?” Tanya nenek itu.
“Iya nek. Saya cucu kakek Atmo. Nama saya Rani.” Jawabku sambil mengigil kedinginan.
“Oh cucu pak Atmo. Beliau amat ramah. O ya, panggil saya nenek Sali. Ayo masuk saja. Kamu pasti kedinginan.” Kata nenek Sali.
“Mbok Surti tolong buatkan teh hangat. Ada tamu!”
Nenek Sali menggandengku masuk ke dalam rumah. Tidak berapa lama mbok Surti keluar menghidangkan teh hangat dan makanann kecil. Mbok Surti juga membawakan handuk, untuk mengelap badanku.
Sambil menikmati teh hangat dan makanan kecil, kami pun berbincang-bincang. Ternyata nenek Sali hidup sebatang kara. Ia hanya ditemani mbok Surti, pembantu setianya. Suaminya telah meninggal lima tahun yang lalu. Ia tidak punya anak maupun sanak sodara. Menurutnya dulu ia pernah mengangkat anak yang diambil dari panti asuhan. Namun beberapa tahun kemudian anak angkatnya meninggal dunia. Karena sakit leukemia.
Kulihat nenek Sali menitikan air mata.
“Nek Sali jangan sedih ya! Anggap saja Rani cucu nenek.” Kataku menghibur.
Nenek Sali tersenyum dan mengangguk. Ia segera memelukku erat-erat. Ia Nampak terharu dan bahagia sekali.
Tidak terasa hujan telah berhenti. Aku pun berpamitan, karena khawatir kakek dan nenek kebingungan mencariku. Aku juga berjanji untuk datang lagi esok pagi.
Ketika tiba di depan warung di perempatan jalan, seorang bapak memanggilku. Aku pun menghampirinya.
“Kamu pasti cucu pak Atmo. Kamu harus hati-hati dengan Nenek Sali. Ia itu menjadi kayak arena memelihara makhluk halus. Itu sebabnya ia tidak memiliki anak. Anak angkat dan suaminya dijadikan tumbal makhluk halus peliharaannya. Sebaiknya kamu jangan pergi ke rumahnya lagi. Bisa-bisa kamu dijadikan tumbal berikutnya.” Nasihat bapak itu.
Aku jadi bergidik dan hanya bisa mengangguk mengiyakan. Aku bergegas pulang dengan bulu kuduk merinding.
Keesokan harinya badanku terasa deman. Nenek segera membawaku ke puskesmas. Menurut dokter yang memeriksaku, aku terkena influenza. Aku diberi obat dan diminta untuk beristirahat.
Selama tiga hari aku hanya bisa beristirahat di rumah. Namun dari beberapa orang yang datang, aku mendengar bahwa aku dikabarkan telah dijadikan tumbal oleh nenek Sali. Kakek dan nenek juga berusaha memberitahu bahwa aku Cuma terkena influenza.
Pada hari keempat, aku merasa sehat kembali. Aku berencana siang harinya akan datang ke rumah nenek Sali. Aku ingin meminta maaf karena tidak menepati janjiku untuk datang tiga hari yang lalu. Selain itu aku ingin meminta maaf, karena sakitku dijadikan berita yang tidak-tidak tentang nenek Sali.
Namun aku hanya bisa berencana saja. Tiba-tiba terdengar kabar bahwa nenek Sali meninggal dunia. Aku sangat sedih dan terpukul. Bersama kakek dan nenek aku mengantar nenek Sali ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Dari bisik-bisik penduduk. Aku mendengar mereka menduga bahwa nenek Sali meninggal karena gagal menjadikan aku tumbalnya. Namun aku tidak mempercayainya. Aku semakin merasa kasihan pada nenek Sali.
Keesokan harinya mbok Surti bersama Pak Rio datang menemuiku. Ternyata Pak Rio adalah seorang notaries. Pak Rio memberitahu bahwa aku dan mbok Surti dijadikan ahli waris kekayaan oleh nenek Sali. Mbok Surti telah dibelikan rumah dan sawah di desa asalnya. Sedangkan aku mendapatkan sejumlah tabungan di bank. Pak Rio juga menceritakan asal usul kekayaan nenek Sali. Kekayaan tersebut dari harta karun yang ditemukan mendiang suami nenek Sali saat menggali lubang di halaman rumahnya. Mereka merahasiakannya karena dipaksa kolektor kaya yang mengintainya dan membeli barang-barang tersebut.
“Aduh, bagaimana ini?” ujarku kebingungan.
Tentu saja aku sangat terkejut dan tidak menduga sama sekali. Tiba-tiba saja aku menjadi orang kaya. Selama beberapa hari aku berpikir tentang warisan tersebut.
Akhirnya setelah berunding dengan kakek dan nenek, aku memutuskan menjadikan rumah tersebut panti asuhan. Sedangkan sawah dan tabungannya aku serahkan untuk biaya mengelola panti asuhan tersebut. Panti asuhan itu aku beri nama Panti Asuhan Nenek Sali. Aku yakin nenek Sali setuju dan bahagia, karena sebentar lagi rumahnya akan penuh dengan anak-anak yang ceria
Namun, beberapa saat kemudian gerimis mulai turun. Aku segera berlari pulang menuju ke rumah kakek. Namun di tengah jalan hujan turun dengan lebat. Aku terpaksa berteduh dibawah pohon besar.
Aku melihat seorang nenek duduk di teras rumah tersebut. Ia memandang ke arahku dan tersenyum. Aku pun membalas senyumnya. Lalu ia melambaikan tangan memanggilku. Wah, kebetulan. Aku segera berlari menuju rumah itu.
“Kok hujan-hujan? Kamu pasti bukan anak desa sini ya? Siapa namamu?” Tanya nenek itu.
“Iya nek. Saya cucu kakek Atmo. Nama saya Rani.” Jawabku sambil mengigil kedinginan.
“Oh cucu pak Atmo. Beliau amat ramah. O ya, panggil saya nenek Sali. Ayo masuk saja. Kamu pasti kedinginan.” Kata nenek Sali.
“Mbok Surti tolong buatkan teh hangat. Ada tamu!”
Nenek Sali menggandengku masuk ke dalam rumah. Tidak berapa lama mbok Surti keluar menghidangkan teh hangat dan makanann kecil. Mbok Surti juga membawakan handuk, untuk mengelap badanku.
Sambil menikmati teh hangat dan makanan kecil, kami pun berbincang-bincang. Ternyata nenek Sali hidup sebatang kara. Ia hanya ditemani mbok Surti, pembantu setianya. Suaminya telah meninggal lima tahun yang lalu. Ia tidak punya anak maupun sanak sodara. Menurutnya dulu ia pernah mengangkat anak yang diambil dari panti asuhan. Namun beberapa tahun kemudian anak angkatnya meninggal dunia. Karena sakit leukemia.
Kulihat nenek Sali menitikan air mata.
“Nek Sali jangan sedih ya! Anggap saja Rani cucu nenek.” Kataku menghibur.
Nenek Sali tersenyum dan mengangguk. Ia segera memelukku erat-erat. Ia Nampak terharu dan bahagia sekali.
Tidak terasa hujan telah berhenti. Aku pun berpamitan, karena khawatir kakek dan nenek kebingungan mencariku. Aku juga berjanji untuk datang lagi esok pagi.
Ketika tiba di depan warung di perempatan jalan, seorang bapak memanggilku. Aku pun menghampirinya.
“Kamu pasti cucu pak Atmo. Kamu harus hati-hati dengan Nenek Sali. Ia itu menjadi kayak arena memelihara makhluk halus. Itu sebabnya ia tidak memiliki anak. Anak angkat dan suaminya dijadikan tumbal makhluk halus peliharaannya. Sebaiknya kamu jangan pergi ke rumahnya lagi. Bisa-bisa kamu dijadikan tumbal berikutnya.” Nasihat bapak itu.
Aku jadi bergidik dan hanya bisa mengangguk mengiyakan. Aku bergegas pulang dengan bulu kuduk merinding.
Keesokan harinya badanku terasa deman. Nenek segera membawaku ke puskesmas. Menurut dokter yang memeriksaku, aku terkena influenza. Aku diberi obat dan diminta untuk beristirahat.
Selama tiga hari aku hanya bisa beristirahat di rumah. Namun dari beberapa orang yang datang, aku mendengar bahwa aku dikabarkan telah dijadikan tumbal oleh nenek Sali. Kakek dan nenek juga berusaha memberitahu bahwa aku Cuma terkena influenza.
Pada hari keempat, aku merasa sehat kembali. Aku berencana siang harinya akan datang ke rumah nenek Sali. Aku ingin meminta maaf karena tidak menepati janjiku untuk datang tiga hari yang lalu. Selain itu aku ingin meminta maaf, karena sakitku dijadikan berita yang tidak-tidak tentang nenek Sali.
Namun aku hanya bisa berencana saja. Tiba-tiba terdengar kabar bahwa nenek Sali meninggal dunia. Aku sangat sedih dan terpukul. Bersama kakek dan nenek aku mengantar nenek Sali ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Dari bisik-bisik penduduk. Aku mendengar mereka menduga bahwa nenek Sali meninggal karena gagal menjadikan aku tumbalnya. Namun aku tidak mempercayainya. Aku semakin merasa kasihan pada nenek Sali.
Keesokan harinya mbok Surti bersama Pak Rio datang menemuiku. Ternyata Pak Rio adalah seorang notaries. Pak Rio memberitahu bahwa aku dan mbok Surti dijadikan ahli waris kekayaan oleh nenek Sali. Mbok Surti telah dibelikan rumah dan sawah di desa asalnya. Sedangkan aku mendapatkan sejumlah tabungan di bank. Pak Rio juga menceritakan asal usul kekayaan nenek Sali. Kekayaan tersebut dari harta karun yang ditemukan mendiang suami nenek Sali saat menggali lubang di halaman rumahnya. Mereka merahasiakannya karena dipaksa kolektor kaya yang mengintainya dan membeli barang-barang tersebut.
“Aduh, bagaimana ini?” ujarku kebingungan.
Tentu saja aku sangat terkejut dan tidak menduga sama sekali. Tiba-tiba saja aku menjadi orang kaya. Selama beberapa hari aku berpikir tentang warisan tersebut.
Akhirnya setelah berunding dengan kakek dan nenek, aku memutuskan menjadikan rumah tersebut panti asuhan. Sedangkan sawah dan tabungannya aku serahkan untuk biaya mengelola panti asuhan tersebut. Panti asuhan itu aku beri nama Panti Asuhan Nenek Sali. Aku yakin nenek Sali setuju dan bahagia, karena sebentar lagi rumahnya akan penuh dengan anak-anak yang ceria
Tidak ada komentar:
Posting Komentar