Sabtu, 22 Desember 2012

Kimchi

“Ra, jangan lupa bawakan aku jepit-jepit rambut yang bagus ya!” Kata Loly dari sebrang telepon genggamnya. “Eh aku juga lho Ra. Belikan boneka yang lucu ya!” suara Sisca di belakangnya. “Ya deh, nanti aku bawakan.” Jawabku kepada kedua sahabatku itu.
    Matahari menyengat saat aku keluar dari gerbang Kedutaan Republik Korea, bergegas kulambaikan tangan kearah taksi putih yang lewat. Pulang, itulah kata yang paling tepat karena visa sudah kudapat dan lusa berangkat ke Korea. Bersama empat orang mahasiswa lainnya, aku mendapat beasiswa untuk melakukan studi persahabatan selama sebulan di Negeri Gingseng itu. Seluruh keluarga menyambut gembira kesempatan yang kudapat.
    Sore itu kami sudah di bandara, pesawat akan berangkat dua jam lagi. Selain aku dari Jakarta, ada Tari dari Bandung, Bambang dan Tina dari Semarang, serta Lana mewakili Lampung. Angin musim semi menyerap saat kami mendarat di bandara Incheon. Korea Selatan. Seorang pemuda Korea memperkenalkan dirinya sebagai mahasiswa Jurusan Asia di sebuah universitas negeri Korea, dalam bahasa Indonesia yang fasih. Bola mata pemuda itu menatapku tajam dan meski hanya sekian detik saja, sudah membuat jantungku berdegup. Dalam hati aku bergumam, lumayan juga, mirip actor Hongkong pujaanku Andi Lau, tubuhnya juga sangat atletis. Tina terbahak saat kubisikan hal itu di toilet bandara. Di dalam mobil, Kim Sing Ki demikian nama pemuda itu, bilang bahwa aku akan tinggal di rumahnya selama berada di  Korea. Dari ujung bangku Tina mesam-mesam melirikku.
    Kami berlima tinggal terpisah di lima kota kecil yang jaraknya saling berdekatan. Keluarga Sing Ki tinggal di desa Gosan Iri di Kota Kwang-ju. Orang tuanya memiliki lima anak, Sing Ki bungsu dan belum menikah. Karena hidup sebagai petani sederhana, Sing Ki giat belajar untuk mendapatkan beasiswa di Indonesia dengan harapan suatu hari bisa bekerja di salah satu perusahaan Korea di Indonesia. Hari pertama tidak ada hal yang istimewa kecuali aku harus terus menerus disuguhi makanan khas Korea. Aku menyukai asinan sawi putih yang pedas dan belakangan baru aku ketahui namanya adalah Kimchi.
    Selama tinggal di keluarga Sing Ki, hampir semua makanan yang disuguhkan mengandung daging sapi. Makanan pagi dengan sup Denjang. Makan siang dengan Kalbi. Makan malam dengan Bulgogi. Pagi itu sebelum berangkat ke kota, ibu Sing Ki membuat sup rumput laut dengan irisan daging. Dan aku hanya menyantap kue ketan putih saja. Diam-diam pula Sing Ki rupanya selalu mencuri pandang kepadaku dan itu tidak sengaja kupergoki.
    “Gamsa Hamnida Ommoni!” ucapku berterima kasih sambil membungkukan badan.
    “Silahkan dimakan Ira!” kata Sing Ki sambil menyodorkan mangkuk berisi kimchi.
    “Oh ya terima kasih.” Jawabku tersipu.
    “Oh ya Ira apa kamu mau saya ajak jalan-jalan ke pusat desa kami? Ajak Sing Ki seusai makan.
    “Boleh juga, apa tidak merepotkan?”
    “Aku tidak masalah. Oke besok kita pergi ke kota jam 10 pagi.” Kata Sing Ki.
    “Ya jam 10.” Jawabku.
    Langit musim semi terlihat cerah saat bis yang kami tumpangi melewati jalan-jalan pedesaan, terlihat bunga-bunga Krisan dan Daisy bermekaran, indah sekali. Tidak sampai setengah jam, kami pun tiba di  kota yang penduduknya kebanyakan tak bisa berbahasa asing. Kami mengunjungi masjid kecil satu-satunya di kota itu. Lelah berjalan, kami mampir di kedai minuman dan Sing Ki memintaku untuk menunggunya di kedai itu sementara dia akan menajak temannya. Sudah hampir satu jam tapi Sing Ki belum kembali. Bosan menunggu, aku pun jalan-jalan di sekitar kedai dan karena mulai lapar, aku bertanya pada pegawai pom bensin, dimana ada restoran ayam siap saji. Melihat pegawai pom bensin itu bingung menjawab. Aku coba bahasa isyarat dengan mengepakan kedua lenganku seperti ayam dan berkata “Chicken”. Tapi kelihatannya ia tak mengerti yang kumaksud. “Aduh Sing Ki kemana sih?” kesalku dibuatnya.
    Jam ditanganku sudah menunjukan pukul duabelas. HP-ku tertinggal di kamar saat pergi, jadi aku tak bisa menghubungi Sing Ki, dan demikian sebaliknya. Saat aku putus asa, lewat dua orang wanita yang bisa berbahasa inggris, meski sedikit. Mereka tahu restoran yang menjual masakan dari ayam di pojok jalan itu dan mengajakku makan bareng. Ternyata ayam goreng itu disajikan hanya dengan daun kol serta garam. Heh kenapa hanya garam? “Mana saus tomatnya? Tanyaku pada kedua teman baruku. “No… no… no… this is Korean Chicken.” Kata mereka tersenyum.
    Akhirnya aku pulang ke rumah Sing Ki naik bis. Cowok itu meminta maaf karena harus ke rumah sakit mengantar temannya yang kecelakaan. Ia lupa bahwa aku menunggunya di kedai. Seluruh keluarganya meminta maaf dan saat kuceritakan bahwa aku mencari restoran ayam, malam itu juga keluarga Sing Ki mengajakku makan di restoran yang punya menu khas ayam: ada ayam goreng, sup ayam, ayam teriyaki, semuanya serba ayam pokoknya. Lagi-lagi Sing Ki menyodorkanku kimchi dengan sedikit memaksa. Ia tahu kalau aku sangat menyukai kimchi.
    “Ira seminggu lagi kamu akan kembali ke Indonesia. Tetapi aku belum mengajakmu ke Folk Village.” Katanya saat kami duduk dibawah pohon ceri di teras rumahnya sore itu.
    “Memangnya ada apa disana?”
    “Kamu bisa melihat kehidupan orang Korea masa lalu disana juga ada restoran yang enak-enak.”
    “Kalau tidak merepotkan aku mau kok diajak kesana.” Kataku.
    “Benar Ra? Kamu sudah tak marah lagi kepadaku?”
    “Aku bahkan lupa.” Kataku sambil mengacungkan jari kelingkingku.
    Tiba-tiba ada perasaaan aneh saat jari kelingking kami bersatu, tanda berbaikan. Matanya yang teduh seakan penuh harapan. Ah mata itu kenapa selalu memandangku seperti itu. Seperti ada yang ingin disampaikan.
    Saat di Folk Village ada peristiwa yang tidak bisa kulupakan. Sing Ki sempat merangkul pundaku. Tubuhku sedikit gemetar karena dinginnya aning. Kepalaku bersandar di dadanya, hangat. Tapi kecupannya di dahiku terasa lebih hangat. Aku tak sanggup berkata-kata. Sampai di rumah, kami lebih banyak diam. Aku tidur lebih awal, membawa mimpi-mimpi indah di Folk Village . Rasanya waktu cepat berlalu dan lusa aku harus kembali ke Indonesia. Hari itu akhirnya tiba dan kami berlima berlinang air mata meninggalkan keluarga Korea yang ramah. Ibu Sing Ki membawakanku dua wadah besar Kimchi buatannya. Tak terasa tanganku masih dalam genggaman Sing Ki, seolah ia tak mau melepaskannya meski hanya sesaat.
    “Sing Ki, pesawat kami sebentar lagi akan berangkat, apa Ira tidak boleh pulang?” goda Tina melihat kedekatan kami. Sadar dengan kata- kata Tina, Sing Ki pun perlahan melepaskan gengamannya dengan tersipu.
    “Eh ini tadi Ira kedinginan”. Ucap Singki beralasan.
    “Jangan lupa kimchinya ya Ra.” Seru cowok bermata teduh itu.
    “Ya” jawabku sambil melambaikan tangan.
    Pesawat garuda GA220 pun membawaku kembali ke Indonesia. Semangkuk kimchi telah membenamkanku ke dalam cinta seorang nun jauh di seberang lautan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar